Pengaruh Revolusi Budaya terhadap Perkembangan Sastra Cina Modern

Revolusi Budaya (1966–1976) yang digagas oleh Mao Zedong merupakan salah satu peristiwa paling kontroversial dalam sejarah Tiongkok modern. Gerakan ini bertujuan untuk mempertahankan ideologi komunis dengan membersihkan “sisa-sisa budaya lama” yang dianggap menghambat kemajuan bangsa. Namun, dampaknya tidak hanya terbatas pada politik dan sosial, tetapi juga memberi pengaruh besar terhadap perkembangan sastra Cina modern.

Sastra Sebagai Alat Propaganda

Selama Revolusi Budaya, karya sastra diarahkan untuk menjadi alat propaganda. Penulis diwajibkan menciptakan karya yang mendukung ideologi Partai Komunis. Puisi, novel, hingga drama harus menampilkan tokoh yang revolusioner, penuh semangat perjuangan, dan setia pada cita-cita sosialisme. Karya yang dianggap menyimpang atau berlawanan dengan garis partai akan segera dilarang dan penulisnya berisiko mendapatkan hukuman.

Banyak penulis besar pada masa itu mengalami tekanan, bahkan ada yang dipenjara atau dilarang berkarya. Kondisi ini menyebabkan keberagaman dan kebebasan ekspresi sastra menurun drastis. Sastra Cina seakan kehilangan keotentikannya karena harus tunduk pada kepentingan politik.

Hilangnya Warisan Sastra Klasik

Selain membatasi karya kontemporer, Revolusi Budaya juga menolak karya sastra klasik. Novel-novel besar seperti Perjalanan ke Barat atau Kisah Tiga Negara dianggap sebagai produk budaya feodal yang tidak sesuai dengan semangat revolusi. Hal ini menimbulkan “kekosongan budaya”, karena generasi muda saat itu kehilangan kesempatan untuk menikmati dan mempelajari karya sastra klasik Cina yang sebenarnya kaya nilai.

baca juga: les intensif utbk

Kebangkitan Pasca-Revolusi

Meski menimbulkan banyak kerugian, Revolusi Budaya justru menjadi titik balik bagi perkembangan sastra Cina modern setelah era tersebut berakhir. Pada awal 1980-an, muncul gelombang baru dalam dunia sastra yang dikenal sebagai “sastra luka” (scar literature). Karya-karya ini ditulis oleh para penulis yang pernah mengalami penindasan pada masa Revolusi Budaya, dan menceritakan luka serta penderitaan rakyat.

Sastra luka berfungsi sebagai katarsis sekaligus kritik terhadap kebijakan politik yang mengekang kebebasan berkarya. Dari sinilah, sastra Cina modern mulai berkembang lebih bebas, dengan tema-tema yang berani, jujur, dan humanis. Penulis seperti Lu Xinhua dan Zhang Jie menjadi tokoh penting dalam membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap sastra.

Pengaruh Jangka Panjang

Revolusi Budaya meninggalkan dua pengaruh utama terhadap sastra Cina modern. Pertama, adanya trauma kolektif yang kemudian melahirkan karya sastra reflektif dan penuh kritik. Kedua, munculnya kesadaran akan pentingnya kebebasan berekspresi dalam seni dan sastra. Pengalaman pahit tersebut mendorong penulis generasi berikutnya untuk lebih berani mengeksplorasi tema-tema yang sebelumnya tabu, termasuk isu kemanusiaan, keadilan, dan identitas.

Kesimpulan

Revolusi Budaya memang membatasi kreativitas dan merusak keberagaman sastra Cina pada masanya. Namun, dari kehancuran itu lahirlah semangat baru dalam sastra modern yang lebih jujur dan kritis. Sastra tidak lagi sekadar alat propaganda, melainkan wadah untuk menyuarakan pengalaman manusia yang sesungguhnya. Dengan demikian, meskipun Revolusi Budaya membawa luka, peristiwa tersebut juga membuka jalan bagi kebangkitan sastra Cina modern yang lebih dinamis dan relevan hingga kini.